Sunday 7 October 2012

Elegi



Aku mempunyai seorang adik perempuan yang manis bernama Fransoise William atau yang kami panggil Willy. Umurnya berjarak 2 tahun dariku. Orang selalu memuji kulitnya yang putih bersih, rambutnya yang pirang keemasan, sampai matanya yang biru jernih. Berbeda denganku 180 derajat.
Aku berkulit kuning langsat dengan rambut hitam mengkilat dan mata coklat tanah. Mommy selalu berkilah saat kukatakan tidak ada kemiripan sama sekali aku dengan mom ataupun daddy. “Kamu seperti Nenek,” cetus mom saat itu. “Nenek merupakan orang Asia,” terang mom suatu hari. Aku hanya mengangguk percaya saja. Beliau sudah meninggal saat mom masih kelas 1 di senior high school.
]
Baik mommy maupun daddy, tampaknya sangat memanjakan Willy. Aku masih ingat ulang tahun ke- 5 Willy saat itu.
Pinata, teman – teman kecil Willy, Balon berwarna-warni, kotak – kotak kado yang tersusun rapi, dan sebuah kue tart besar yang lucu. Sebuah pesta kebun yang meriah dan ramai. Dan saat itu, Willy the princess memakai tiara kecil dengan baju seperti princess Disney, dan sebuah tongkat berujung bintang. Pesta yang penuh dengan musik meriah, games, dan pokoknya serba wah. Bahkan saat itu mommy dan daddy menghadiahkan Willy sebuah kamar tidur serba ungu-pinky favoritnya.
Semua keinginan Willy selalu dituruti, bahkan saat Willy mengatakan ingin memiliki seekor anak kucing, daddy langsung mengajak Willy ke Petshop dan pulangnya, Willy menuntun seekor kucing maine coon hitam.
Aku yang berumur 7 tahun hanya bisa menatap Willy dengan marah. Jelas, ada suatu pembatas diantara kami yang tentu saja tidak bisa dimengerti seorang anak berumur 7 tahun…


Ulang tahunku yang ke-8.
Semalam, aku berharap ada sebuah pinata, balon, kotak kado, dan kue tart. Tapi, ternyata semua itu hanya mimpi. Hari itu musim semi, hari itu hujan. Hujan turun seperti tak kenal waktu. Hujan tampaknya mewakili perasaan mommy, daddy, dan anggota keluarga lainnya.
Semua orang menatap Willy yang terbaring dengan senyum tenang diwajahnya yang putih bersih. Hening, tanpa suara sedikitpun. Sejak saat itu, aku membenci hujan dan akupun membenci musim semi. Membenci hari ulang tahunku sendiri yang merupakan tanggal kepergian adikku sendiri.
Pemakaman Willy meninggalkan luka besar di hati mommy. Kepergian Willy juga membuka suatu hal yang sudah disembunyikan dengan rapi dari awal. Suatu hal yang menjadi pembatas antara aku dan Willy.
Aku seorang anak angkat…
Aku menatap nanar sebuah villa yang biasa kami kunjungi saat liburan musim panas. Villa yang mommy bilang merupakan villa milik Nenek, ternyata merupakan peninggalan mendiang orangtuaku yang merupakan teman baik mommy dan daddy.
Sejak saat itu, mommy lebih suka menyendiri di bekas kamar Willy. Saat mommy sedang keluar, aku iseng memasuki kamar itu. Aku mengernyit mencium bau cat minyak yang sangat kuat. Banyak kanvas dimana – mana. Mommy melukis…
Saat mommy sedang melukis, aku kembali masuk ke kamar itu diam – diam sambil mengamati mom. Beliau selalu melukis menggunakan warna – warna sendu dan melukis hal – hal menyedihkan. Aku mencoba menghiburnya dengan melukis pelangi kesukaan mommy di kanvas kosong didepannya. Tapi sayangnya, yang kulihat hanya sinar redup dan tatapan kosong darinya. Walaupun tangannya tetap melukis. Aku tahu hatinya menangis…

Beberapa tahun berlalu, mommy akhirnya meninggal karena penyakit jantung yang ia derita. Umurku 13 tahun dan Daddy memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen dan menyekolahkanku disebuah asrama putri di Inggris. Saat itu, saat pertama aku melihatnya menangis…

Sekarang umurku 15 tahun, dan sekarang liburan musim panas. Saat ayahku bertemu klien diluar, aku membujuk Bibi John yang dengan berat hati mengantarkanku kerumah yang telah mendatangkan luka dalam bagi keluarga kami.
Dikamar Willy, aku masih mencium bau cat minyak yang kuat dan kanvas – kanvas yang tersusun rapi. Lukisan pelangipun masih tergantung di dinding. Aku memijat sedikit keningku. Bau cat minyak memang memusingkan!
Sekelebat, aku masih dapat melihat bayangan mommy disini sambil melukis. Aku segera mengambil notes ku dan menulis,
 
Tetes – tetes air turun ke bumi, membawa setitik harapan
Titik – titik embun menitik di jendela, membuat pandangan kabur
Diluar, kupu – kupu menari gembira
Bunga – bunga cantik bermekaran
Jamur berwarna – warni dikembangkan
Bersiap menyambut cahaya dibalik kemelut gelap

Tapi, hatiku meringis menahan tangis
Cahaya tak pernah lagi datang
Tak setitikpun cahaya lagi
Pelangi sekalipun tak mampu membuatnya hadir disini

Sendu, sunyi
Nyanyian merdu sekalipun tak mampu membangunkannya

Hanya satu yang ia harap,
Hanya satu yang ia pinta,

Kembalikan dia,
Beri ia kesempatan untuk melihat mentari
 Sekali lagi…

-She’s gone-
2012

No comments:

Post a Comment