Shania menutup bukunya. Jam tangannya menunjukkan pukul
09.58 yang berarti waktu istirahatnya akan habis dalam dua menit. Ia meletakkan
kembali bukunya di rak. Shania tersenyum pada petugas perpustakaan yang dibalas
dengan anggukan. Jam – jam di sekolah merupakan jam – jam kaku yang selalu
berulang setiap minggunya. Semuanya terasa sama. Stagnan.
Deg!
Langkahnya terhenti saat sekelompok anak kelas tiga
melewatinya. Salah satu diantara mereka merupakan seseorang yang familiar,
wangi peppermint yang tak bisa ia lupakan begitu saja. Sosok yang membuat jam –
jam kaku sekolah menjadi berbeda di tiap menitnya.
Shania memalingkan wajahnya dan menghela nafas panjang.
Kapan ia bisa lepas dari bayang – bayangnya?
“Shania, kamu yakin nggak mau ikut ke kantin?”
Shania menggeleng.
“Yaudah, kita pergi ya.”
Sekelompok anak perempuan yang mengerubungi meja Shania pun
pergi. Shania akhirnya terduduk sendiri di kelasnya yang sepi. Kepalanya sakit
dari tadi. Shania beranjak dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu istirahatnya
di perpustakaan di lantai dua.
Buk!
Shania menatap dua buku yang jatuh di depan kakinya dan
langsung memungutnya.
“Hei,”
Shania mendongak.
“Iya, kamu yang disitu. Tolong bawa kesini bukunya,”
Shania menyerahkan kedua buku tebalnya di atas tumpukan buku
yang dibawa anak laki – laki itu.
“Makasih, ya” ucapnya ringan sambil berlalu dengan terburu –
buru.
Shania menatap punggung yang berjalan menjauhinya itu dan
mengerutkan dahi. Sweater? Hari sepanas ini anak itu menggunakan sweater? Ia
menggelengkan kepalanya dan kembali berjalan menuju perpustakaan.
-
“Lo udah selesai, Shan? Bisa cepet sedikit?” tanya Irene
sedikit tidak sabar.
“Sebentar lagi. Gue nggak bakat gambar, lo tau itu kan?”
jawab Shania tanpa melirik Irene. Pandangannya fokus ke arah kertas gambar.
“Gimana mau jadi arsitek kalau gambar ginian aja masih
repot, Shan? Buruan, udah jam segini. Nanti gue telat latihan orkestra” keluh
Irene.
Shania menghapus garis – garis halus di kertasnya tak
memedulikan Irene. Irene mendengus. Ia mengambil kertas Shania, memasukkannya
ke dalam map dan mengumpulkannya di meja guru.
Shania menaikkan alis. “Lo tega gue dapet nilai jelek, ren?”
“Garis – garis halus gitu nggak bakal ngaruh sama nilai lo
yang emang udah jaminan bagus dari awal,” dalih Irene.
“Tapi …”
Irene menarik tangan Shania keluar dari kelas. Sebelah
tangannya lagi membawa tas Shania. “Karir gue di tim orkestra bisa hancur gara
– gara lo, Shan. Hari ini gue nggak bawa biola dan gue tau, lo teman gue yang
paling baik hati sedunia pasti mau berbaik hati nemenin gue pulang ngambil
biola dan nonton gue latihan, hehehe” kekehnya.
Shania tertawa. “Dua cone ice cream vanilla sebagai imbalan,
ya ren.”
“Nggak mau!”
“Dua! Atau lo pulang sendiri?”
“Nggak, nggak! Nggak bakal ada es krim satu cone pun hari
ini!”
“Oke, satu deh. Kalo nggak gue nggak mau nganter lo pulang.
Take it or leave it?” tawar Shania.
Irene menghentikan langkahnya. “Oke, oke. Satu ice cream
cone vanilla. Deal?” Irene mengangsurkan kelingkingnya.
“Deal,” Shania dan Irene tertawa lebar.
Shania dan Irene kembali berjalan menuju tempat parkir. Di
tempat parkir, Shania kembali menangkap sosok anak laki – laki dengan sweater
coklat tadi.
“Shan, ayo!” tegur Irene.
Shania mengangguk dan mereka pun berlalu. Entah kenapa sosok
anak laki – laki dengan sweater coklat itu masih asyik bermain dalam angan –
angannya.
-
To be
continued..
No comments:
Post a Comment