Sunday, 24 February 2013

Where is the Moonlight? (Part 4)


Chara
Aku sudah mengetahui namanya! Aku mendaftar di club yang sama dengannya (Juga dengan Nash dan Spica). Walaupun festival musim semi sudah lewat, aku benar – benar ikhlas mengikuti kegiatan club, kok. Bukan semata – mata untuknya.

Namanya Tian. Dia satu tahun diatasku. Setelah mengetahui namanya, lama – lama semuanya terkuak. Dia grade 2 dan mengambil kelas science. Dibalik wajahnya yang ‘Choi Siwon’ banget, ternyata dia layaknya laki – laki diumurnya sering bertingkah ‘abnormal’.

Aku hanya bisa melongo mendengar pengakuan dari kakak – kakak kelas perempuan lainnya. Sedikit menyangsikan. Saat kakak kelas itu menunjukkan fotonya (dan aku tidak sengaja melihat kejadiannya secara langsung), ya ampun! Dibalik otak dan wajahnya yang diatas rata – rata itu dia bisa bersifat abnormal juga. Ckckck.
Dia itu keajaiban dunia nomor delapan.
---
Vindemiatrix
Aku tertegun malam itu. Sebuah pesan masuk yang tidak biasanya. Isinya memang hal sepele. Hanya bertanya, tapi pertanyaannya itu agak sedikit mengganggu. Ayolah, tidakkah orang ini mengerti?


Waktu sudah berlalu. Maaf. Bukannya aku tidak ingin menjawabnya dengan Jujur, tapi kurasa kau terlambat. Aku hanya menjawab beberapa pertanyaannya, lalu membiarkannya. Aku benar – benar minta maaf. Aku harap kalian mengetahui hal yang sebenarnya sendiri.
---
Nash
Chara memiliki kebahagiannya sendiri. Begitu pula dengan Shera. Juga dengan Spica. Akupun begitu. Saat pertama kali melihatnya itu. Dan sifatnya yang pendiam dengan kemampuan otaknya itu. Aku mengaguminya.

Dia kakak senior kami di klub. Sama seperti Tian, dia grade 2 kelas science. Namanya Altair. Dari wajahnya memang terlihat seperti ‘orang yang memiliki otak’. Pernah mengikuti kelas olimpiade dan mengikuti banyak les. Dia juga dipercaya banyak guru. Dia anak kesayangan para guru.

Sifat pendiamnya membuat dia terkesan galak. Padahal dia baik dan ramah (Aku percaya setelah membuktikannya, apalagi Spica juga mengakuinya). Baik aku maupun Chara sama – sama berlomba – lomba menunggu kedua kakak senior kami itu datang. Menunggu mereka melewati koridor depan kelas kami. Sejak saat itu, berangkat sekolah menjadi semangat tersendiri bagi kami.
---
Shera
Spica hanya menggeleng – gelengkan kepala mendengar cerita Chara. Begitu pula Nash. Chara memberitahunya. Memang tidak secara langsung, tapi paling tidak membuatku benar – benar ingin lari dari kenyataan.

Benang merah selanjutnya baru terlihat beberapa hari kemudian. Saat aku iseng membuka profile twitternya. Saat itu aku berharap dia tidak pernah mengenalku.

Saat kami berkumpul, baik aku, Spica, Nash, maupun Chara akhirnya sama – sama mengetahui. Vindemiatrix tidak akan pernah membagi hatinya dengan orang lain. Ia orang yang benar – benar setia. Kami sama – sama mengerti.
Dalam hati aku ‘agak’ bersyukur aku hanya ‘sedikit’ menyukainya. Hanya ‘sedikit’.
---
Spica
Aku hanya mengkhawatirkan Shera. Begitu pula dengan Nash dan Chara. Tapi hari demi hari berlalu tampaknya Shera baik – baik saja. Kuharap hatinya pun begitu. Shera memang anak yang dapat mengendalikan diri dengan baik. Aku percata. Begitu pula dengan Nash dan Chara.
---

Nash
Shera terlalu baik pada orang lain juga pada dirinya sendiri. Bagaimanapun, ditinggalkan seseorang terkadang menyakitkan (seperti yang digambarkan di novel – novel roman itu). Bukan sepenuhnya salah Chara semua ini terjadi. Salah Shera yang terlalu pendiam, salahku ataupun Spica yang tidak berani mengambil langkah dan perlu privasi, salah Chara yang terlalu ‘berani’. Semuanya jadi serba salah.
---
Chara
Bukan salahku kan. Vindemiatrix sudah mengambil jalannya sendiri. Salahkan waktu yang bergulir begitu cepat! Siapa yang tahan memendam hal seperti ini.
---
Shera
Sudahlah. Tidak ada yang perlu disalahkan disini. Semua berlalu begitu saja. Bukankah semaunya sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa? Kita tidak dapat menolaknya bukan? Lagipula yang lalu biarkanlah berlalu. Semua sudah memiliki jalannya sendiri.

No comments:

Post a Comment